Aug 26, 2010

TUGAS DAN PENGERTIAN
BURUNG MANGUNI DAN ‘OPO-OPO’
Untuk menyelami akan asal usul logo Pemerintah Kabupaten Minahasa yang menempatkan burung Manguni sebagai figur pokok dan pencantuman motto “I Yayat U Santi” perlulah kita tahu latar belakang pembuatannya dan penciptanya.

Pada tahun 1967, Pemerintah Kabupaten Minahasa menyelenggarakan sayembara untuk penciptaan simbol Minahasa,yang diikuti oleh 4 seniman dan oleh Panitia diputuskan bahwa gambar lambang terbaik adalah hasil karya dari Adolf Kainde, kemudian dalam sidang DPRD Minahasa ditetapkan sebagai logo Pemerintah Kabupaten Minahasa.
Adolf Kainde, kelahiran Flores 1937, bersekolah di Tomohon. Setelah Permesta sebagai tenaga harian kemudian disamping mengajar di SMA Aquino sebagai staf redaksi Harian Kompas edisi Sulut dan saat meninggal di Malalayang thn 2000 sebagai Agent Manager Bier Bintang. Adolf Kainde dikaruniai bakat menggambar dan koreografi, dan untuk konsultasi perencanaan gambar lambang Minahasa, beliau didampingi oleh pamannya Johanis Ngangi, waktu itu sebagai anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) era Bupati Letkol. Sumampouw. Bpk. Johanis Ngangi, kelahiran Tonsea Lama 1912, meninggal 1984 di Tomohon adalah bekas guru Sekolah Rakyat di Tomohon dan pernah sebagai Anggota DPRD Kabupaten Minahasa, beliau juga memiliki bakat melukis dan mengarang lagu-lagu Tombulu antara.lain ‘Opo Wana Natase’ (th.1939).

Adapun dasar pemikiran kedua beliau tersebut bahwa kata-kata “I Yayat U Santi” dari bahasa Tombulu tua yang arti harafia ‘acungkan pedang perang’. Dan ini dapat dibuktikan dan disajikan pada tari-tari perang seperti; seruan dalam tari perang cakalele “KAWASARAN’ (Kabasaran) adat Minahasa. Inilah konteks pengertiannya untuk logo Minahasa adalah “Siap berjuang untuk pembangunan Minahasa”.

Dipilihnya burung Manguni dari antara jenis burung lain didasarkan pada mithos leluhur Minahasa bahwa burung Manguni adalah salah satu ciptaan oleh Roh atau Opo paling atas yang menguasai langit dan bumi. Oleh ‘Opo Empung Wananatas’ tersebut menugaskan kepada burung Manguni (mauni = mengamati) untuk menjaga keselamatan anak-cucu Toar-Lumimuut, berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur dan diberi kemampuan bunyi siul berbeda untuk signal aman atau bahaya. Penulis banyak tahu mengenai hal ini dari Srikandi Permesta, Len Karamoy (asal Tomohon), sebelum Permesta beliau memimpin sekelompok gerilya pecahan dari PPK (Pasukan Pembela Keadilan) pimpinan Jan Timbuleng.

Burung Manguni yang dinamakan ‘Hoot’ (bahasa Jawa: burung hantu), bentuknya sebesar burung Kakatua, berbuluh hitam keabu-abuan, matanya bulat membelalak menghadap kedepan, ada pula jenis burung hantu kecil ‘Tootosik’ dinamakan sesuai bunyi siulannya. Pada saat “bertugas” mereka bertengger membelakangi arah datangnya berita, apa bila pertanda baik siulannya syahdu dan apabila ada bahaya suaranya tergesa-gesa lemah seakan berbisik. Pertanda akan ada kemenangan mutlak bila ‘hoot’nya nyaring mengalun dan dilakukan berturut 3 kali 9 (‘telu makasiou’). Atas dasar pemikiran ini maka Jan Timbuleng (sekampung dengan Penulis, Walian) menamakan pasukan Permestanya ‘Brigade 999’ atau Triple Nine.

Masih ada jenis burung malam “Ki’ek”yang sambil terbang menyambar rendah dengan suara melengking (satu kali saja) selalu membawa berita ‘awas bahaya sudah dekat’. Ada lagi jenis burung Kookokuk yang belum pernah dilihat karena tempatnya jauh dalam hutan, apabila siulan si “kookokuk” nya mendekat menandakan bahaya semakin dekat dan bila suara jauh melemah artinya lawan telah menjauh. Pada siang hari ada burung “Menge’ngekek”, sebesar terkukur, buluh coklat, sayap kuning, ekor hitam panjang apabila tetap bertengger dibelukar dengan suara tawa mengejek tanda ‘awas waspada’ dan bila dia terbang rendah memintas didepan dengan suara panjang “nge’ek” berarti sebaiknya berhenti sebentar atau batalkan perjalanan. Kicauan burung ‘Kuoo’ dan ‘Kowkow’ bersahut-sahutan pada pagi hari menandakan suasana gembira dan tenteram, dan yang sekali-sekali diselingi suara ngantuk berat dari burung ‘Mu’kurz’ yang dijuluki roh penjaga hutan yang kesiangan.

Saya yakin burung-burung tersebut belum melupakan tugas yang diberikan oleh Penciptanya, namun kemajuan teknologi komunikasi moderen dan peralatan deteksi mutakhir telah meng-ambil alih kewajibannya dan mungkin pula burung-burung tersebut tetap memberi petanda akan peristiwa kekerasan dan bencana yang akan terjadi, tapi karena habitatnya sudah tergusur jauh kedalam hutan maka siulan warning-nya sudah tak terjangkau oleh pendengaran kita.



OPO – OPO.

Berikut tentang ‘opo-opo’ yang kini pengertiannya telah melenceng jauh dari arti yang sebenarnya, kini istilah opo-opo dianggap oleh sebagian besar generasi sekarang sebagai suatu perlakuan kerja sama antara roh-roh jahat dengan setan dari naraka.

Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai abad 21 ini.

Para leluhur kita itu yakin bahwa manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat. Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.

Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’

Semua yang hadir melalui Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’ karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat “Menado’.

Sampai sekarang orang Minahasa bila hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan), jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.

Kembali tentang Opo-Opo kita, dari generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang lain.

Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin, jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’. Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya</span>

iklan

Popular Posts